PURA MALEN DESA PUJUNGAN

Pagi itu (19/12/2015 ) cuaca Denpasar sedikit tidak bersahabat. Gumpalan mendung menyelimuti ibu kota pulau Bali itu. Tapi tidak menyurutkan niat kami untuk memulai perjalanan menuju Desa Pupuan, Tabanan. Ya.. kami akan melakukan perjalanan spiritual atau Tirta Yatra ke sebuah tempat yang terkenal dengan ketenangan tempatnya untuk bermeditasi. Sebuah tempat yang bertempat di kaki bukit Watukaru.

Kami mulai menggeber sepeda motor matic menuju arah Barat dari kota Denpasar. Setelah melewati Kota Tabanan kami terus menggeber motor menuju jalan Raya Gilimanuk yang dipenuhi dengan lalu lalang Bus Trans Jawa Bali dan truck pengangkut barang dan pasir. Dan akhirnya kami masuk ke daerah Desa Pupuan yang di kiri kanannya begitu hijau dengan panorama alam yang begitu cantik. Mata akan dimanjakan dengan deretan pohon kakau, pohon durian dan hamparan sawah yang tertata dengan rapi.

Akhirnya kami menemukan pertigaan SMA 1 Pupuan yang dicari cari. Karena hanya itu informasi yang dikantongi untuk menuju Pura Malen. Setelah bertanya dengan beberapa orang di sepanjang perjalanan kamipun menemukan pertigaan kedua, dan petualanganpun dimulai. Kami dihadapkan dengan jalanan yang mulai mendaki dan sesekali  harus turun berjalan kaki dan mendorong sepeda motor. Meski terasa berat, tapi semua itu tidak terasa. Karena antusias kami untuk nangkil, udara yang begitu segar dengan semerbak harum kopi dan keramahan penduduk sekitar membuat kelelahan kami terlupakan. Selain pepohonan yang rindang, daerah ini juga dipenuhi dengan kebun kopi.
Setelah 20 menit berlalu, dan akhirnya kori itupun terlihat.

Di kori pura tersebut terdapat 2 patung tokoh pewayangan Tualen. Mungkin karena itulah pura ini diberi nama Pura Malen. Menurut Pemangku setempat, Pura Malen telah ada sejak berabad abad yang lalu. Dan merupakan pesimpangan Pura Pucak Kedaton. Dahulu pura ini merupakan hutan belantara, yang konon ditunggui oleh Macan secara niskala.
Setelah menghaturkan Piuning disana, kami diberi petunjuk untuk melanjutkan persembahyangan sendiri kesebuah pelinggih Hyang Beghawan yang diapit oleh 2 buah patung macan berwarna hitam dan belang serta terdapat 2 buah patung tentara yang membawa bedil dan meriam.

Dari sini menuju Pura Siwa tidaklah terlalu jauh. Setelah berjalan beberapa meter dan mengikuti petunjuk yang ada, langkah kami terhenti pada sebuah tempat yang sangat asri. Setelah melepas alas kaki, kami menaiki beberapa anak tangga dan melihat sebuah Lingga dan Patung Dewa Siwa yang diapit oleh patung Lembu Nandini dan Dewi Sri. Kamipun disapa oleh seorang Pemangku dan mempersilahkan kami untuk sembahyang soang - soang  ( sendiri - sendiri ) di pelinggih Lingga, di Lembu Nandini, Dewa Ganesha dan di pelinggih Dewi Sri.
Selanjutnya kami melanjutkan persembahyangan ke sebuah pelinggih Pertapa yang terletak di belakang samping patung Dewa Siwa. Konon katanya, dahulu kala tempat ini adalah tempat moksanya seorang pertapa asal Tanah Jawa. Dan di tempat ini pula Wayan Sutarjana menemukan pretima berupa Arca Dewa Siwa pada tahun 1993, dan pada tahun 2008 dia mendirikan patung Dewa Siwa. Setelah beberapa kali mendapat wangsit secara niskala.

Suasana yang begitu damai, sepi, hening dan ditambah udara yang dingin menambah kereligiusan tempat ini. Dari tempat ini bisa dilihat pemandangan begitu indah. Dan apabila cuaca cerah, dari tempat ini juga bisa dilihat puncak Gunung Semeru yang berada di Tanah Jawa. Memang tempat ini begitu tepat untuk bermeditasi. Apabila ingin bermeditasi bisa dilakukan sendiri sendiri tanpa pemangku. Orang orang yang datang bermeditasi di Pura Siwa ini berasal dari berbagai kalangan dan berbagai agama. Bagi yang tangkil ingin melukat, pemedek disarankan membawa piuning dan bungkak nyuh gading.
Seiring dengan banyaknya pemedek dan pengunjung yang datang, semoga tempat ini terus terjaga keasriannya dan kealamiannya